Beranda | Artikel
Kehilangan Buah Hati
Kamis, 10 Januari 2013

KEHILANGAN BUAH HATI

Oleh
Ustadz Rizal Yuliar Putrananda Lc

Tak sedikitpun perjalanan kehidupan dunia ini terhenti sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala kelak menetapkan hari yang menjadi akhir bagi segalanya. Waktu demi waktu adalah ujian bagi setiap manusia. Hanyalah seorang mukmin yang dapat menghadapinya dengan baik. Ia selalu mengharap taufik Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam setiap langkah di semua keadaannya. Ia meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam setiap ucapan dan amalannya. Ia mempelajari dengan seksama contoh para salafush shalih dalam setiap hal yang menghampiri kehidupannya. Seorang mukmin selalu berhati-hati dalam menentukan sikap dan tindakannya agar dapat selaras dengan petunjuk syariat. Kala ia mendapatkan kenikmatan dan kebahagiaan maka ia bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak lantas terbuai sehingga lupa bahwa itu hanyalah titipan yang bersifat sementara. Dan kala ia ditimpa kesulitan atau musibah maka ia segera menyadari bahwa itu adalah ujian. Ia meyakini bahwa semua yang terjadi merupakan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga ia bersabar dan tidak hanyut dalam kesedihan yang berkepanjangan.

عَنْ صُهَيْبٍ الرُّوْمِيِّ رَضِيَ الله ُعَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : عَجَبًا ِلأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَلِكَ ِلأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكاَنَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

Dari Shuhaib Ar-Rumi Radhiyallahu anhu ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “betapa menakjubkan perkara seorang mukmin. Sungguh semua perkaranya adalah baik. Apabila ia mendapatkan kebahagiaan maka ia bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan itu adalah yang terbaik baginya. Manakala ia mendapatkan musibah maka ia bersabar dan itu adalah yang terbaik baginya.”[1]

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Menakjubkan seorang mukmin, karena tidaklah Allah Subhanahu wa Ta’ala menentukan satu perkara bagi dirinya melainkan itu menjadi yang terbaik baginya”.[2]

Diantara titipan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menjadi ujian kehidupan bagi seorang mukmin dan mukminah adalah anak, “si buah hati”. Ia hadir sebagai penyejuk mata yang mendatangkan kebahagiaan. Setiap gerak dan tingkahnya adalah kebanggaan. Setiap keceriaan celoteh beriring senyum dan kemanjaannya adalah penghibur hati dan pengisi kehampaan. Tak ada kata lelah ataupun bosan bagi ibu atau ayah untuk melayaninya dan mencurahkan kasih sayang kepadanya. Tak perlu diminta untuk memberikan yang terbaik baginya. Tak habis cara dan usaha mencari jalan keluar terhadap segala kesulitannya. Semua itu dilalui sebagai kebahagiaan bagi kedua orang tua. Namun pada saat Allah Subhanahu wa Ta’ala memanggil kembali si buah hati karena ajal telah menjemputnya, tak jarang sebagian orang tua dirundung kesedihan yang begitu mendalam dan berkepanjangan, seakan kurang dapat menerima kenyataan. Diantara mereka ada yang bingung “apa yang harus dilakukan??”, rasa “belum siap”, dan pertanyaan “mengapa ini terjadi?” bergelayut dalam hati dan pikiran. Mari kita merenung sejenak, sambil mencermati kembali tuntunan ajaran islam yang sudah pasti memberikan kemudahan dan mendatangkan kebahagiaan. Sehingga langkah setiap mukmin dan mukminah saat menghadapi kepergian “si buah hati” yang takkan kunjung datang kembali adalah langkah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala ridhai.

Keteladanan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Saat Kehilangan “Buah Hati”
Sebagai contoh terbaik bagi umat ini kita mendapatkan keteladanan kisah nyata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat putera beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Ibrahim meninggal dunia pada usia yang sangat dini. Namun demikian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tegar dalam menjalankan ujian kenyataan yang beliau hadapi. Ketika Ibrahim telah dekat dengan ajalnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendekapnya dalam pangkuan, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menciumnya dan beberapa saat kemudian Ibrahim menghembuskan nafasnya yang terakhir. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkannya dan beliaupun r menangis. Abdurrahman bin `Auf bertanya : “wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, apakah engkau menangis padahal engkau telah melarang (kami) menangis (yakni tangis ratapan atau niyaahah)?” beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab “wahai Ibnu `Auf, sesungguhnya aku tidak melarang (kalian) menangis, hanya saja aku melarang dua jenis suara bodoh lagi jahat: yakni suara alunan (musik) yang melalaikan dan seruling-seruling setan, serta suara tamparan wajah dan mengoyak pakaian ketika musibah. Adapun (tangisan) ini adalah kasih sayang, dan barangsiapa yang tidak menyayangi maka ia tidak disayangi. Jikalah ini bukan janji (Allah Subhanahu wa Ta’ala) yang pasti (terjadi) dan ucapan yang benar, serta yang telah wafat mendahului kita (pastilah) akan disusul oleh kita, maka kita akan lebih bersedih dari ini. Sungguh kami bersedih dengan (kepergianmu) wahai Ibrahim. Air mata berlinang…, hati bersedih…, kita tidak mengucapkan (sesuatu) yang akan mendatangkan murka Allah Subhanahu wa Ta’ala.”[3]

Lihatlah ketegaran dan ketabahan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sekalipun hati beliau bersedih dan air mata berlinang namun beliau menjauhkan diri dari segala sesuatu yang akan mendatangkan murka Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam meyakini bahwa semua yang terjadi adalah kehendak dan kuasa Allah Subhanahu wa Ta’ala yang sarat kebaikan serta hikmah. Tidak sedikitpun Allah Subhanahu wa Ta’ala menzhalimi hambaNya.  Allah Azza wa Jalla berfirman “Dan Dialah Yang berkuasa atas seluruh hamba-Nya. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui”.[4] “Dan Aku sekali-kali tidak menzhalimi hamba-hamba-Ku”.[5] Dengan meyakini hal ini maka seorang mukmin akan mudah berlapang dada terhadap segala yang terjadi karena Allah Subhanahu wa Ta’ala pasti memberikan yang terbaik. Menyadari bahwa semua yang kita miliki hanyalah ujian serta titipan sementara yang suatu saat akan kembali kepada-Nya U. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman “kepunyaan Allah Subhanahu wa Ta’ala sajalah segala yang ada di langit dan di bumi; dan hanya kepada Allah segala urusan dikembalikan”.[6] Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “apabila Allah Subhanahu wa Ta’ala mencintai suatu kaum maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menguji mereka. Barangsiapa ridha maka ia akan mendapatkan ridha (Allah Subhanahu wa Ta’ala), dan barangsiapa marah (benci) maka baginya kebencian dan kemurkaan (Allah Subhanahu wa Ta’ala)”.[7]

Tegar Menghadapi Kenyataan
Alkisah seorang sahabat bernama Abu Thalhah Al-Anshari Radhiyallahu anhu memiliki seorang istri bernama Ummu Sulaim Radhiyallahu anha serta seorang putera yang ia sayangi. Abu Thalhah Radhiyallahu anhu keluar dari rumah (untuk suatu kepentingan) sementara anaknya sedang jatuh sakit kemudian meninggal dunia.

Ummu Sulaim Radhiyallahu anha mempersiapkan (diri) seraya berkata kepada kerabatnya  “jangan kalian mengabarkan suamiku Abu Thalhah Radhiyallahu anhu tentang puteranya, biarkanlah aku sendiri yang akan menyampaikan berita duka ini”. Saat Abu Thalhah Radhiyallahu anhu sampai di rumah bersama beberapa sahabatnya beliau bertanya kepada Ummu Sulaim Radhiyallahu anha “bagaimana keadaan anak kita?”. Ummu Sulaim menjawab “semenjak ia sakit, malam ini sungguh ia lebih tenang dari sebelumnya”. Ummu Sulaim mempersiapkan makan malam, kemudian ia berhias diri dan bersolek untuk suaminya. Abu Thalhah Radhiyallahu anhu memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala dan merasa senang, beliau Radhiyallahu anhu menyelesaikan makan malam kemudian menggauli istrinya.

Setelahnya Ummu Sulaim Radhiyallahu anha berkata “wahai Abu Thalhah, bagaimana pendapatmu apabila seseorang meminjam suatu pinjaman dan memanfaatkannya, kemudian ketika pinjaman itu diminta kembali dia enggan untuk mengembalikannya?” Abu Thalhah Radhiyallahu anhu menjawab “dia tidak berlaku adil”. Ummu Sulaim Radhiyallahu anha berkata lagi “sesungguhnya puteramu adalah pinjaman Allah Subhanahu wa Ta’ala bagimu, dan sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengambilnya kembali”. (Ternyata) Abu Thalhah Radhiyallahu anhu bersabar[8] serta memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Keesokan harinya ia hendak menyampaikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal tersebut. Saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa “semoga Allah Azza wa Jalla memberkahi kalian berdua di malam yang kalian lalui”. Maka tidak berapa lama kemudian Ummu Sulaim Radhiyallahu anha mengandung…[9]

Ibnu Hajar rahimahullah berkata “sesungguhnya seorang mukmin manakala ia menyerahkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala (saat musibah) dan melakukan istirja` maka ia akan mendapatkan tiga kebaikan sekaligus; keberkahan dan maghfirah, rahmat serta kemudahan jalan petunjuk”.[10]

Demikian contoh mulia dari para salafus shalih yang diuji oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan kemurungan atau putus asa namun ketegaran, ketenangan, kesabaran dan ketabahan…

Wajib Husnu Zhann (Berprasangka Baik) Terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Berprasangka buruk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sifat kaum munafikin dan musyrikin. Allah Subhanahu wa Ta’ala Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana berfirman “dan Allah Subhanahu wa Ta’ala mengadzab kaum munafik laki-laki dan perempuan juga kaum musyrik laki-laki dan perempuan karena mereka berprasangka buruk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka akan mendapatkan giliran (kebinasaan) yang amat buruk. Allah Subhanahu wa Ta’ala memurkai dan mengutuk mereka serta menyediakan bagi mereka neraka jahanam. Dan neraka jahannam adalah seburuk-buruk tempat kembali”.[11]

Sesungguhnya sebagian manusia menjadi rendah lagi hina karena prasangka buruk mereka terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adapun makna berprasangka baik terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala ialah seorang hamba berprasangka bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menyayanginya, ia memahami hal tersebut dengan merenungi ayat-ayat, hadits-hadits yang menjelaskan tentang kebaikan dan kemuliaan Allah Subhanahu wa Ta’ala serta ampunan-Nya, apapun yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala janjikan bagi ahli tauhid sebagai pengganti dan balasan kebaikan bagi mereka di hari kiamat kelak. Sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala firmankan “Aku sebagaimana prasangka hamba-Ku terhadap-Ku”. Inilah makna hadits yang benar yang dijelaskan oleh jumhur ulama.”[12]

Hanyalah orang kafir yang berputus asa dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman “Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala melainkan kaum yang kafir[13] Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

الْكَبَائِرُ : الشِّرْكُ بِاللهِ وَ اْلإِياَسُ مِنْ رَوْحِ اللهِ وَ اْلقُنُوْطِ مِنْ رَحْمَةِ اللهِ.

Dosa besar adalah berbuat syirik kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, pesimis dari kasih sayang Allah Azza wa Jalla serta berputus asa dari (mendapatkan) rahmat-Nya“.[14]

Bersabar Sejak Awal Musibah Terjadi
Ini adalah hal yang sering kali luput atau bahkan dilalaikan sebagian orang yang menghadapi musibah. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

إِنَّمَا الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْمَةِ اْلأُوْلَى

“Sesungguhnya kesabaran adalah pada saat awal kejadian (musibah)”.[15]

Yakni apabila bersikap tegar dan tabah pada saat hati terguncang akibat suatu musibah maka itulah sabar yang sempurna yang akan mendatangkan pahala. Al-Khaththabi rahimahullah berkata “sesungguhnya sabar yang terpuji adalah ketika musibah baru saja terjadi, adapun setelah itu beberapa hari maka dia akan lupa kemudian merelakan kepergiannya”.[16] Imam Nawawi rahimahullah berkata “Sungguh makna hadits tersebut adalah kesabaran yang sempurna dan akan mendatangkan pahala yang agung karena ujian kesulitan yang berat di dalamnya…”.[17] Dan jika ia berjuang untuk dapat bersabar maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberikan kemudahan baginya untuk tegar dan bersabar. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “barangsiapa berusaha untuk bersabar maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membuatnya bersabar, tidaklah seseorang diberikan kebaikan yang menyeluruh dan lebih luas dari kesabaran”.[18]

Tentang definisi kesabaran Ibnul Qayyim rahimahullah berkata “sabar adalah menahan diri dari sikap kesal dan marah, menahan lisan dari keluh kesah serta menahan anggota badan dari melakukan kekacauan atau kebodohan”.[19]

Berharap Pahala dan Balasan Kebaikan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala
Hal ini pernah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “senantiasa ujian (cobaan) menghampiri seorang mukmin atau mukminah dalam dirinya, hartanya, serta anaknya sampai ia berjumpa dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga tiada lagi tersisa dosa-dosanya”.[20] Suatu saat seorang pria mendatangi Nabi r sambil membawa puteranya kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya “apakah engkau mencintai puteramu?” pria tersebut menjawab “Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mencintai engkau (wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) sebagaimana aku mencintai puteraku”. Tak lama setelah itu puteranya wafat, ia merasa sangat kehilangan dan bertanya (kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) tentang (nasib) puteranya itu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “tidakkah engkau merasa bahagia tatkala engkau mendatangi pintu manapun diantara pintu-pintu jannah dan puteramu berdiri di hadapannya berusaha untuk membukakannya bagimu??”[21] . Maka hendaknya ia mengharap agar dipertemukan kembali dengan seluruh keluarganya dalam kebahagiaan dan kenikmatan jannah Allah Subhanahu wa Ta’ala serta dijauhkan dari adzab Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kesempatan itu pernah disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits

مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَمُوْتُ بَيْنَهُمَا ثَلاَثَةُ أَوْلاَدٍ لَمْ يَبْلُغُواْ الْحِنْثَ إِلاَّ أَدْخَلَهُمَا اللهُ الْجَنَّةَ بِفَضْلِ رَحْمَتِهِ إِيَّاهُمْ. يُقَالُ لَهُمْ: “اُدْخُلُواْ الْجَنَّةَ”، فَيَقُوْلُوْنَ: حَتَّى يَدْخُلَ آباَؤُنَا، فَيُقَالُ:” اُدْخُلُوْا الْجَنَّةَ أَنْتُمْ وَآباَؤُكُمْ

Tidaklah dua muslim (suami-isteri) yang telah meninggal dunia tiga anak kandung mereka yang belum berdosa melainkan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan masukkan keduanya ke dalam jannah dengan kebaikan dan rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi mereka. Dikatakan kepada anak-anak itu “masuklah kalian ke dalam jannah”. Maka mereka menjawab “(kami menanti) sehingga kedua orang tua kami memasukinya”. Kemudian dikatakan: “masuklah kalian beserta kedua orang tua kalian ke dalam jannah“.[22]

“أَيُّمَا امْرَأَةٌ مَاتَ لَهَا ثَلاَثَةٌ مِنَ اْلوَلَدِ كَانُوْا لَهَا حِجَابًا مِنَ النَّارِ”. قاَلَتِ امْرَأَةٌ: وَاثْنَانِ ؟ قَالَ: “وَاثْنَانِ”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “seorang wanita (muslimah) manapun yang telah (didahului) wafat ketiga anaknya, maka mereka akan menjadi penghalang baginya dari api neraka”. Seorang wanita bertanya “wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bagaimana jika hanya dua (anak saja)?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab “ya, (walaupun) dua.”[23]

Dalam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain: “Demi Yang jiwaku ada di tangan-Nya Subhanahu wa Ta’ala, sesungguhnya (janin yang) gugur akan menarik ibundanya dengan ari-arinya (masuk) ke dalam jannah manakala ibunya itu (bersabar) mengharap pahala”[24]

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kita dapat bersabar tatkala mendapatkan musibah khususnya pada saat kepergian buah hati yang mendahului kita, meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa memberikan yang terbaik bagi hamba-Nya, melimpahkan pahala dan menghapuskan dosa serta mempertemukan kita dengan semua keluarga yang telah mendahului kita di dalam jannah-Nya Subhanahu wa Ta’ala yang mulia, amin.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XIII/1430/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Ahmad 4/333 no: 18939, Muslim no: 2999, Darimi  2/218  no: 2773, Ibnu Hibban (At-Ta`liqatul Hisan) 4/447 no: 2885
[2] Ahmad 5/24 no: 20283, Ibnu Hibban 2/149 no: 726 dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu. Riwayat ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Shahihah 1/277 no: 148
[3] Bukhari 1303, Muslim 2025, Shahih Sunan Abu Daud dengan no: 2681 (3126), Ahmad 13014 seluruhnya dari Anas Radhiyallahu anhu, Ibnu Majah 1589 dari Asma bintu Yazid Radhiyallahu anha, adapun lafadh dan kisah diatas diriwayatkan oleh Hakim 6825 dari Jabir dari Abdurrahman bin `Auf Radhiyallahu anhu dan syaikh Al-Albani membawakannya dalam Silsilah Shahihah 1/790 volume: II  no hadits: 427
[4] QS Al-An`am/6 : 18
[5] QS Qaaf/50 : 29
[6] QS Ali `Imran/3 : 109
[7] HR Tirmidzi dan Ibnu Majah; lihat Shahih Sunan Tirmidzi 2396, Shahih Sunan Ibnu Majah 4031 Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu. Syaikh Al-Albani berkata “sanadnya hasan”.
[8] Sebagaimana diriwayatkan dari Ummu Salamah Radhiyallahu anha ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “tidaklah seorang muslim tertimpa musibah kemudian dia mengucapkan apa yang diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala yaitu “innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun, Allaahumma` jurnii fi mushiibatii wa akhlif lii khairan minha” (“sesungguhnya kami milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nya kami akan kembali. Ya Allah, berilah aku pahala dalam musibah yang menimpaku ini dan berikan kepadaku ganti”), melainkan Allah Subhanahu wa Ta’ala  akan menggantikannya dengan yang lebih baik dari (mushibah tersebut)”. (HR Muslim 3/474-475 no: 918 Bab apa yang diucapkan saat musibah). Dalam riwayat lain disebutkan hadits yang senada dan pada bagian akhir hadits beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “….melainkan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberikan pahala kepadanya dan memberikan ganti yang lebih baik”. (HR Ibnu Majah 1598 yang dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani).  Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala  “yaitu (orang-orang) yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan ; “innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji`uun“. Mereka mendapatkan keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Rabb mereka. Dan mereka itulah orang-orang yang mendapatkan petunjuk hidayah”.  (Al-Baqarah/2 : 156- 157)
[9]. Bukhari 1301, Muslim 6322, Ahmad 12028  seluruhnya dari Anas Radhiyallahu anhu
[10] Fathul Bari; bab 42 dari kitab Al-Jana`iz  3/205  syarah hadits no: 1302
[11] QS Al-Fath/48 : 6
[12] `Aunul Ma`bud 8/382-383.
[13] QS Yusuf/12: 87
[14] HR. Bazzar dari Ibnu `Abbas Radhiyallahu anhu. Dalam Majma` Az-Zawaid 1/104  imam Al-Haitsami berkata “diriwayatkan Al-bazzar dan Ath-Thabrani; para perawinya dapat dipercaya” dalam kesimpulannya Syaikh Al-Albani menilainya hasan, lihat Shahih Al-Jami` 2/844 no: 4603, dan Silsilah Shahihah 5/79-80 hadits no: 2051
[15] HR. Bukhari no: 1283 & 1302, Muslim no: 926 dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu
[16] Fathul Bari 3/179, Tuhfatul Ahwadzi 4/62.
[17] Syarah Muslim 6/481
[18] HR Bukhari no: 1469, Muslim no: 1054 dari Abu Sa`id Al-Khudri Radhiyallahu anhu.
[19] Madarijus salikin baina manazili iyyaka na`budu wa iyyaka nasta`in karya Ibnul Qayyim  2 : 129
[20] HR Tirmidzi no: 2399 dari Abi Harairah Radhiyallahu anhu  ia berkata “hadits ini hasan shahih”. Demikian dinyatakan oleh syaikh Al-Albani “shahih”, lihat Shahih Al-Jami` no: 5815, dan Silsilah Shahihah no: 2280
[21] HR. Nasa`i dari qurrah bin Iyas Radhiyallahu anhu, lihat Shahih Sunan Nasa`i no: 1764 dan 1974. Dinyatakan oleh Syaikh Al-Albani “shahih”
[22] HR Nasa`i dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu; lihat Shahih Sunan Nasa`i  no: 1770, lihat Shahih Al-Jami` no : 5780, lihat Silsilah Shahihah no: 2260
[23] HR Bukhari 101,1249,7310 dari Abi Sa`id Al-Khudri Radhiyallahu anhu
[24] HR. Ibnu Majah 1609 dari mu`adz bin Jabal Radhiyallahu anhu. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Alabni dalam Shahih Sunan Ibnu Majah no: 1305


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3481-kehilangan-buah-hati.html